Pertanyaan:
Saya dengar dalam kajian bahwa rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyentuh bahunya. Apakah ini benar? Kalau benar, apakah ini termasuk sunnah?
Jawaban:
Memang benar, rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
panjangnya sampai menyentuh bahunya, sebagaimana dalam banyak hadits,
seperti:
Dari Bara’ bin Azib, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat
rambut melampaui ujung telinga seorang pun yang lebih bagus dari
(rambut) Rasulullah.” Dalam suatu riwayat lain, “Rambut Rasulullah
sampai mengenai kedua bahunya.” (Hr. Muslim: 2337)
Adapun berkaitan dengan hukum memanjangkannya, maka para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa hal itu hukumnya sunnah.
Mereka berdalil bahwa hukum asal perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah, sebagaimana keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. Al-Ahzab: 21)
Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dalam rangka meniru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bagus dan dihukumi sebagai ibadah, dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, beliau mengatakan (dalam al-Mughni:
1/119), “Hal ini (memanjangkan rambut bagi laki-laki) hukumnya sunnah.
Seandainya kami mampu melakukannya, maka akan kami lakukan, tetapi ada
faktor kesibukan dan biaya yang diperlukan.”
Pendapat ini dikuatkan oleh perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang memanjangkan rambutnya, padahal perbuatan ini perlu waktu (sibuk
mengurusnya) dan perlu biaya (untuk minyak rambut dan semisalnya).
Andaikan ini bukan sunnah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan susah payah melakukannya. Pendapat kedua mengatakan bahwa memanjangkan rambut hukumnya
bukan sunnah, tetapi hanya sekadar adat kebiasaan, dan hukumnya mubah
(boleh dilakukan dan boleh tidak).
Pendapat ini didasari oleh perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada orang yang mencukur sebagian rambut anaknya dan menyisakan
sebagian lainnya, beliau mengatakan, “Cukurlah semua atau jangan
dicukur semua!”
Andaikan memanjangkan rambut hukumnya sunnah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan untuk mencukur, tetapi akan memerintahkan supaya dipanjangkan karena itu sunnah.
Adapun yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka beliau memanjangkan rambutnya karena adat-kebiasaan manusia saat
itu memang demikian. Beliau tidak menyelisihi kaumnya, karena apabila
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi mereka dalam suatu perkara, berarti perkara itu adalah perkara yang disayariatkan (sunnah).
Akan tetapi, pada kenyataannya justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyamai mereka. Ini menunjukkan bahwa perkara itu mubah (boleh
dilakukan dan boleh tidak dilakukan), namun bukan termasuk sunnah.
Pendapat inilah yang lebih kuat, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Utsaimin dalam Mandzumah Ushul Fikih wa Qawa’iduhu, hlm. 118–119.
Dijawab oleh Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali pada Majalah Al-Furqon, edisi 10, tahun ke-7, 1429 H/2008 M.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi www.konsultasisyariah.com
Sesungguhnya memanjangkan rambut adalah sunnah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah taala :
memanjangkan rambut itu adalah sunnah, seandainya kita mampu pasti kita
sudah memanjangkannya. Akan tetapi hal ini perlu penjagaan dan perhatian. Ibnu Qayyim dalam kitabnya (Zadul Maad) berkata: Rasulullah tidak diketahui membotak kepala , kecuali dalam ibadah (haji dan umrah).
Sesungguhnya sudah datang hadis-hadis sahih yang menerangkan akan
sifat (model) rambut Rasulullah Alaihi as-sholatu was-sallam. Di dalam
kitab (Al-Mughni), dikatakan; Dan rambut manusia
itu disukai seperti model rambut Nabi Sholallahu alaihi wa sallam,
apabila panjang sampai ke bahu, dan apabila pendek sampai ke cuping
telinganya. Kalau dipanjangkan tidak apa-apa. Imam Ahmad telah menyatakan seperti itu.
Sesungguhnya memanjangkan rambut itu mesti mempunyai beberapa hal yang harus diperhatikan, di antaranya :
1.Ikhlas karena Allah Taala, dan mengikuti petunjuk Rasul, supaya mendapatkan balasan dan pahala.
2.Dalam memanjangkan rambut tersebut, hendaknya tidak menyerupai wanita, sehingga dia melakukan apa yang dilakukan wanita terhadap rambutnya, dari jenis dandanan yang khusus bagi wanita.
3.Dia tidak bermaksud untuk menyerupai ahli kitab (
kristen dan yahudi), atau penyembah berhala, atau orang-orang yang
bermaksiat dari kalangan muslimin seperti seniman-seniman dan artis
(panyanyi dan pelakon filem), atau orang-orang yang mengikuti langkah
mereka, seperti bintang sukan, dalam model potongan rambut mereka serta
dandanannya.
4.Membersihkan rambut dan menyisirnya (sikat).
Dianjurkan memakai minyak dan wangi-wangian serta membelahnya dari
pertengahan kepala. Apabila rambutnya panjang dia menjadikannya
berkepang-kepang (anyam/jalin).
Adapun berkenaan botak, Syeikh Ibnu Taimiyah telah membahas secara terperinci. Dia membagi pembahasannya menjadi empat bagian. Ringkasan pembahasannya (secara bebas ) :
Apabila botak itu karena melaksanakan haji, umrah, atau untuk keperluan seperti berubat,
maka hal ini sudah konsisten dan disyariatkan, berdasarkan Al-Kitab
(Al-Quran) dan Sunnah, bahkan tidak ada keraguan dalam pembolehannya.
Adapun selain itu, maka hal tersebut tidak akan keluar dari salah satu, dari dua permasalahan : Pertama: Dia membotakkanya berdasarkan (beranggapan botak itu) adalah ibadah, (cermin) keagamaan, atau kezuhudan,
bukan karena haji atau umrah. Seperti orang menjadikannya botak itu
sebagai simbol dari ahli ibadah (orang yang banyak ibadahnya) dan ahli
agama. Atau dia menjadikannya sebagai simbol kesempurnaan zuhud dan
ibadah.
Maka dalam hal ini, Syeikh Islam telah berkata: Membotak kepala adalah bidah yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dan bukan pula hal yang wajib atau disukai oleh seorang pun dari
pemimpin-pemimpin agama. Tidak pernah diperbuat oleh salah seorang dari
sahabat-sahabat dan pengikut mereka yang baik. Juga tidak pernah
dilakukan oleh syeikh-syeikh kaum muslimin yang terkenal dengan
kezuhudan dan ibadah; baik (mereka) itu dari kalangan sahabat, tabiin,
dan tabi tabiin serta orang-orang sesudah mereka. Kedua: Dia membotakkan
kepala bukan pada saat ibadah haji atau umrah, dan bukan karena
keperluan ( berubat ), serta bukan juga atas dasar mendekatkan ( diri
kepada Allah ) dan ritual, dalam masalah ini ulama mempunyai dua
pendapat :
Pendapat yang pertama: Karahiyah (dibenci).
Pendapat ini adalah mazhab Malik, dan lainnya. Juga salah satu riwayat dari Ahmad. Beliau berkata : Mereka ( ulama ) membenci hal itu ( botak tanpa sebab ). Hujjah orang yang berpendapat dengan pendapat ini adalah bahwa membotakkan kepala adalah syiar (simbol ) ahli bid’ah ( khawarij ). Karena khawarij membotakkan kepala mereka.
Sungguh Nabi shollallahu alaihi wa sallam telah bersabda tentang
mereka : Ciri-ciri mereka adalah botak . Sebagaimana sebagian orang
khawarij menganggap botak kepala itu merupakan bagian dari kesempurnaan
taubat dan ibadah. Di dalam kitab shohih Bukhori dan Muslim disebutkan : sesungguhnya
tatkala Nabi shollallahu alaihi wa sallam membagi (harta rampasan
perang ) pada tahun fath ( pembebasan Mekah ), dia didatangi seorang
laki-laki yang janggotnya lebat lagi ( kapalanya ) botak. Di dalam
musnad Imam Ahmad diriwayatkan dari Nabi Shollallahu alaihi wa sallam “Bukan dari golongan kami orang yang membotak kepala” . Ibnu Abbas berkata : Orang membotakkan kepalanya di seluruh negeri adalah syaitan .
Pendapat yang kedua: Mubah ( dibolehkan membotakkan kepala ). Pendapat ini terkenal di kalangan pengikut Abu Hanifah dan Syafii. Juga merupakan riwayat dari Ahmad.
Dalil mereka adalah, apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan
Nasai, dengan sanad yang sahih sebagaimana yang dikatakan oleh
pengarang kitab Al- Muntaqo dari Ibnu Umar,
sesungguhnya Nabi shollallahu alaihi wa sallam melihat seorang anak (
bayi ) sebagian kapalanya sudah dibotak dan sebagian yang lain
ditanggalkan ( tidak dibotak ), maka dia melarang dari perbuatan
tersebut, lantas bersabda “Cukurlah keseluruhannya ( botak merata ) atau biarkan keseluruhannya ( tidak dicukur sama sekali )”.
Dan ( juga ) dihadapkan kepada baginda shollallahu alaihi wa sallam
anak-anak yang kecil setelah tiga ( hari dari kelahirannya ) lalu
membotakkan kepala mereka.
Dan karena Nabi shollallahu alaihi wa sallam melarang dari Qaza. Qaza itu adalah membotak sebagian ( kepala ). Maka hal ini menunjukkan bolehnya membotak secara keseluruhan.
Syaukani rahimahullah berkata di dalam kitab Nail
Authoor di waktu dia berbicara tentang hadits yang dicantumkan oleh
pengarang Al-Muntaqo tadi : Di dalam hadits tadi terdapat dalil
bolehnya membotakkan kepala secara keseluruhannya. Ghazali
berkata, Tidak apa-apa ( membotakkan kepala ) bagi siapa menginginkan
kebersihan. Dan di dalam hadits itu ( juga ) terdapat bantahan kepada
orang yang membencinya ( botak ).
Oleh karena itu tidak ada bagi seorang pun dari kalangan pemuda yang
ditimpa penyakit suka menyerupai ( mencontoh ) orang-orang kafir dan
fasiq, pada rambut mereka, untuk bertamengkan sunnah. Sesungguhnya hal
tersebut adalah sunnah adat kebiasaan, bukan sunnah ibadah. Apalagi
kebanyakan dari mereka tidak mencontoh Nabi shollallahu alaihi wa
sallam pada apa yang diwajibkan kepada mereka, seperti menggunting kumis dan memelihara janggot.
Artinya : Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang
menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya (Surat : 50, ayat : 37 ).
Lelaki ingin menyimpan rambut panjang; tidaklah dilarang agama
kerana rambut Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri adakalanya
beliau membiarkan panjang hingga ke bahu. Dalam Saheh al-Bukhari, terdapat hadis dari Anas yang menceritakan; “Rambut Rasulullah mencecah dua bahunnya” (Saheh al-Bukhari, kitab al-Libas, bab al-Ja’di, hadis no. 5452).
Walau bagaimanapun, hendaklah dipastikan gaya rambut tidak menyerupai orang kafir atau orang-orang fasik kerana Nabi bersabda; “Sesiapa menyerupai suatu kaum, ia dari kalangan mereka” (HR Imam Abu Daud dari Ibnu ‘Umar. Lihat; Sunan Abi Daud, kitab al-Libas, bab Fi Lubsi as-Syuhrah, hadis no. 3512).
Rambut Wanita Haramkah?
Doktor Iyadah Al-Kabisi mengatakan :
“Seorang wanita boleh
memotong rambutnya, asalkan tidak sampai batas menyerupai kaum
laki-laki. Dalil yang menunjukkan atas kebolehannya ialah, apa yang
pernah dilakukan oleh para ibu kamu mukminin. Mereka biasa memotong
rambut mereka sampai ke batas telinga.”
Haram hukumnya seorang wanita memotong rambutnya sehingga menyerupai wanita-wanita kafir, berdasarkan sabda Rasulullah,
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk di antara mereka.”
Haram hukumnya bagi seorang wanita memotong rambutnya sehingga menyerupai kaum laki-laki, berdasarkan Sabda Rasulullah
“Allah melaknati wanita-wanita yang menyerupai kaum lelaki, dan lelaki-lelaki yang menyerupai kum wanita”
1.
Barangsiapa mendatangi dukun peramal dan bertanya kepadanya tentang
sesuatu (lalu mempercayainya) maka shalatnya selama empat puluh malam
tidak akan diterima. (HR. Muslim)
2. Barangsiapa mendatangi dukun peramal dan percaya kepada ucapannya
maka dia telah mengkufuri apa yang diturunkan Allah kepada Muhammad
Saw. (Abu Dawud)
3. Sesungguhnya pengobatan dengan mantra-mantra, kalung-gelang penangkal sihir dan guna-guna adalah syirik. (HR. Ibnu Majah)
4. Barangsiapa membatalkan maksud keperluannya karena ramalan
mujur-sial maka dia telah bersyirik kepada Allah. Para sahabat
bertanya, "Apakah penebusannya, ya Rasulullah?" Beliau menjawab,
"Ucapkanlah: "Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikanMu, dan tiada
kesialan kecuali yang Engkau timpakan dan tidak ada ilah (tuhan / yang
disembah) kecuali Engkau." (HR. Ahmad)
5. Ramalan mujur-sial adalah syirik. (Beliau mengulanginya tiga kali)
dan tiap orang pasti terlintas dalam hatinya perasaan demikian, tetapi
Allah menghilangkan perasaan itu dengan bertawakal. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Penjelasan:
Thair artinya burung. Ramalan tentang mujur dan sial semula dikaitkan dengan burung yaitu suara atau arah terbangnya.
Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad)
Judul : Benarkah Tahlilan & Kenduri Haram? Penulis : Muhammad Idrus Romli Editor: Achmad Ma’ruf Asrori Penerbit: Khalista, Surabaya Cetakan: I, 2012Tebal: v + 82 hlm. Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan
Buku kecil “Bernarkah Tahlilan dan Kenduri Haram”,
yang sederhana ini ditulis oleh salah seorang anak muda NU dan sangat
produktif menulis berasal dari Jember. Kehadiran buku ini dilatar
belakangi saat penulis mengisi acara daurah pemantapan
Ahlussunnah Waljama’ah di salah satu Pesantren di Yogyakarta. Ketika
sampai dalam sesi tanya jawab, ada salah seorang peserta mengajukan
pertanyaan kepada penulis tentang hukum selamatan kematian, tahlilan
dan yasinan. Selain itu penaya juga memberikan selebaran Manhaj Salaf,
setebal 14 halaman dengan kumpulan artikel berjudul “Imam Syafi’i
Mengharamkan Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan”.
Tradisi
tahlilan, yasinan, dan tradisi memperingati 3 hari, 7 hari, 40 hari,
100 hari, dan 1000 hari orang yang meninggal dunia adalah tradisi yang
telah mengakar di tengah-tengah masyarakat kita khususnya di kalangan
warga nahdliyin. Dan tradisi tersebut mulai dilestarikan sejak para
sahabat hingga saat ini, di pesantrenpun tahlilan, yasinan merupakan
tradisi yang dilaksanakan setiap hari setelah shalat subuh oleh para
santri. Sehingga tahlilan, yasinan merupakan budaya yang tak pernah
hilang yang senantiasa selalu dilestarikan dan terus dijaga
eksistensinya.
Seiring dengan lahirnya aliran-aliran baru
seperti aliran wahabi atau aliran salafi yang telah diceritakan oleh
penulis, tradisi tahlilan dan yasinan hanyalah dianggap sebatas budaya
nenek moyang yang pelaksanaannya tidak berdasarkan dalil-dalil hadits
atau al-Qur’an yang mendasarinya. Sehingga aliran Wahabi dan Aliran
Salafi menolak terhadap pelaksanaan tradisi tersebut, bahkan mereka
menganggapnya perbuatan yang diharamkam.
Tahlilan, yasinan
merupakan tradisi yang telah di anjurkan bahkan disunnahkan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya. Yang di dalamnya membaca serangkaian
ayat-ayat al-Qur’an, dan kalimah-kalimah tahmid, takbir, shalawat yang
di awali dengan membaca al-Fatihah dengan meniatkan pahalanya untuk
para arwah yang dimaksudkan oleh pembaca atau yang punyak hajat, dan
kemudian ditutup dengan do’a. Inti dari bacaan tersebut ditujukan pada
para arwah untuk dimohonkan ampun kepada Allah, atas dosa-dosa arwah
tersebut.
Seringkali penolakan pelaksanaan tahlilan, yasinan,
dikarenakan bahwa pahala yang ditujukan pada arwah tidak akan menolong
terhadap orang yang meninggal. Padahal telah seringkali perdebatan
mengenai pelaksanaan tahlil di gelar, namun tetap saja ada pihak-pihak
yang tidak menerima terhadap adanya tradisi tahlil dan menganggap bahwa
tahlilan, yasinan adalah perbuatan bid’ah.
Para ulama sepakat
untuk terus memelihara pelaksanaan tradisi tahlil tersebut berdasarkan
dalil-dalil Hadits, al-Qur’an, serta kitab-kitab klasik yang
menguatkannya. Dan tak sedikit manfaat yang dirasakan dalam pelaksanaan
tahlil tersebut. Diantaranya adalah, sebagai ikhtiyar (usaha) bertaubat
kepada Allah untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal,
mengikat tali persaudaraan antara yang hidup maupun yang telah
meninggal, mengingat bahwa setelah kehidupan selalu ada kematian,
mengisi rohani, serta media yang efektif untuk dakwah Islamiyah.
Buku
ini menguraikan secara rinci tentang hukum kenduri kematian, tahlilan,
yasinan, dan menjelaskan khilafiyah ulama salaf memberikan makanan oleh
keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziah. Karena
dikalangan ulama salaf masih memperselisihkan bahwa, memberikan makanan
kepada orang-orang yang berta’ziah, ada yang mengatakan
makruh, mubah, dan sunnah. Namun dikalangan ulama salaf sendiri tidak
ada yang berpendapat tahlilan, yasinan merupakan perbuatan yang
diharamkan. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan
riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi
sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh
hijriah (hal. 13).
Menghadiahkan amal kepada orang yang telah
meninggal dunia maupun kepada orang yang masih hidup adalah dengan
media do’a, seperti tahlilan, yasinan, dan amalan-amalan yang lainnya.
Karena do’a pahalanya jelas bermanfaat kepada orang yang sudah
meninggal dan juga kepada orang yang masih hidup. Seorang pengikut
madzhab Hambali dan murid terbesar Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qoyyim
al-Jauziyah menegaskan pendapatnya, seutama-utama amal yang pahalanya
dihadiahkan kepada orang yang meninggal adalah sedekah.
Adapun
membaca al-Qur’an, tahlil, tahmid, takbir, dan shalawat dengan tujuan
dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia secara sukarela,
ikhlas tanpa imbalan upah, maka hal yang demikian sampailah pahala itu
kepadanya. Karena orang yang mengerjakan amalan yang baik atas dasar
iman dan ikhlas telah dijanjikan oleh Allah akan mendapatkan pahala.
Artinya, pahala itu menjadi miliknya. Jika meniatkan amalan itu untuk
orang lain, maka orang lain itulah yang menerima pahalanya, misalnya
menghajikan, bersedekah atas nama orang tua dan lain sebagainya.
Dengan
demikian, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan manapun baik yang
pro maupun yang kontra terhadap adanya tradisi tahlilan dan yasinan.
Agar supaya tradisi tahlilan dan yasinan yang sudah akrab
ditengah-tengah masyarakat tidak lagi terus dipertanyakan mengenai
kekuatan dalilnya. Sehingga agar tumbuh saling pengertian dan membangun
solidaritas antar sesama muslim. Membaca buku kecil dan sederhana ini,
pembaca akan mengetahui secara jelas terhadap dalil-dalil bacaan
tahlilan, yasinan yang selama ini dikatakan haram dan perbuatan bid’ah.
Wallahu a’lam
* Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi
Ahlussunnah Waljama’ah –atau terkadang ditulis dengan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah merupakan akumulasi pemikiran kaum muslimin dalam berbagai bidang yang
dihasilkan para ulama’ untuk
menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu dengan menjadikan Qur’an dan Hadits sebagai
rujukan. Karenanya, proses terbentuknya Ahlussunnah Waljama’ah sebagai
suatu faham atau madzhab membutuhkan jangka waktu yang panjang. Seperti
diketahui, pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang, seperti ilmu Tauhid,
Fiqih, atau Tasawuf terbentuk tidak dalam satu masa, tetapi muncul bertahap dan
dalam waktu yang berbeda.
Madzhab adalah metode memahami ajaran agama. Di dalam
Islam ada berbagai macam madzhab, misalnya,
dalam uslsudin ada Khawarij, Syi’ah Jahmi’ah, Ahmadiyah, Jabbariyyah dll. Termasuk mazhab Ahlu Sunnah. Sedangkan
dalam madzhab fiqh, misalnya yang utama adalah Malikiyah,
Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanbaliyah, (keempatnya inilah yang diakui sebagai mazhab ahlu Sunnah dalam bidang
fiqih) bisa juga ditambah dengan Syi’ah, Dhahiriyah dan Ibadiyah
(al-Mausu’ah al-‘Arabiyah al-Muyassaraah, 1965: 97).
Istilah Ahlussunah wal jama’ah terdiri dari tiga kata,
“ahlun”, “as-sunah” dan “al-jama’ah”. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan,
bukan sesuatu yang tak terpisah-pisah.
Pengertian Ahlun
Dalam kitab Al-Munjid fil-Lughah wal-A’alam, kata “ahl” mengandung dua makna, yakni selain
bermakna keluarga dan kerabat, “ahl” juga dapat berarti pemeluk aliran atau
pengikut madzhab, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab sebagaimana tercantum
pada Al-Qamus al-Muhith.
Adapun dalam Al-Qur’an sendiri, sekurangnya ada tiga
makna ‘ahl’
pertama,‘ahl’bisa berarti
keluarga, sebagaimana hal ini
terdapat dalam firman Allah dalam
Al-Qur’an surat Hud ayat 45 :“Ya Allah sesungguhnya anakku adalah dari
keluargaku (ahli-y).”
Juga makana
ini terdapat dalam surat Thoha ayat 132 : “Suruhlah keluargamu
(ahl-Ka) untuk mengerjakan sholat”
Kedua, ‘ahl’
berarti penduduk, seperti dalam firman Allah
dalam Al-Qur’an surat Al-A’rof ayat 96 : “Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, maka kami bukakan atas mereka
keberkahan dari langit dan bumi.”
Ketiga,‘ahl’ berarti orang yang memiliki sesuatu disiplin ilmu; (Ahli Sejarah,
Ahli Kimia).
“Bertanyalah kamu
sekalian kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Pengertian As-Sunnah
Menurut Abul Baqa’ dalam kitab Kulliyyat secara bahasa sunnah, berasal dari kata:
"sanna yasinnu", dan "yasunnu sannan",dan
"masnuun" yaitu yang disunnahkan.
As-Sunnah juga
mempunyai arti "at-Thariqah" (jalan/metode/pandanganhidup)
dan "as-Sirah" (perilaku) yang terpuji dan tercela. Seperti dalam sabda Rasulullah
SAW : "Sungguh kamu
akan mengikuti perilaku orang-orang sebelumkamu sejengkal demi sejengkal dan
sehasta demi sehasta." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Pengertian as-Sunnah
Secara Istilah (Terminologi)
Yaitu petunjuk yang telah ditempuh oleh rasulullah SAW
dan para Sahabatnya baik berkenaan dengan ilmu, ‘aqidah, perkataan, perbuatan
maupun ketetapan.
As-Sunnah juga digunakan untuk menyebut sunnah-sunnah
(yang berhubungan dengan) ibadah dan ‘aqidah. Lawan kata "sunnah" adalah
"bid'ah".
Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya barang siapa
yang hidup diantara kalian setelahkau, maka akan melihat perselisihan yang
banyak. Maka hendaknya kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para
Khulafa-ur Rasyidin dimana mereka itu telah mendapat hidayah."
(Shahih Sunan Abi Dawud oleh Syaikh al-Albani). (HR. Ahmad (IV/126-127),
Arti Kata
Al-Jama’ah
Menurut Al-Munjid, kata “al-jama’ah” berarti segala
sesuatu yang terdiri dari tiga atau lebih. Dalam Al-Mu’jam al-Wasith,
al-jama’ah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan.
Pengertian Jama'ah Secara
Istilah (Terminologi):
Yaitu kelompok kaum muslimin ini, dan mereka adalah
pendahulu ummat ini dari kalangan para sahabat, tabi'in dan orang-orang yang
mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat; dimana mereka berkumpul berdasarkan
Al-Qur-an dan As-Sunnah dan mereka berjalan sesuai dengan yang telah ditempuh
oleh Rasulullah SAW baik secara lahir maupun bathin.
Allah Ta'ala telah memeringahkan kaum Mukminin dan
menganjurkan mereka agar berkumpul, bersatu dan tolong-menolong. Dan Allah
melarang mereka dari perpecahan, perselisihan dan permusuhan. Allah SAW
berfirman: "Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai." (Ali Imran: 103).
Dia berfirman pula, "Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka." (Ali Imran: 105).
Dari uraian
di atas, maka makna Ahlussunnah wal jama’ah adalah golongan terbesar ummat
Islam yang bermanhaj/ mengikuti
sistem kenabian, baik dalam
tauhid dan fiqih yaitu dengan
bersandar kepad Al-Qur’an dan Hadits rasulullah SAW.
Siapakah Ahlu Sunnah wal Jama’ah ?
Ahlu Sunnah
wal jama’ah adalah golonagn terbanyak kaum Muslimin. Hal ini telah diisyaratkan
oleh hadits-hadits Rasulullah SAW diantaranya yang di sebutkandalam kitab Faidlul
Qadir juz II, lalu kitab Sunan Abi Daud juz. IV, kitab Sunan Tirmidzy juz V,
kitab Sunan Ibnu Majah juz. II dan dalam kitab Al-Milal wan Nihal juz. I.
Secara berurutan, teks dalam kitab-kitab tersebut, sebagai berikut :
“sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat
atas kesesatan, maka apabila kamu melihat perbedaan pendapat maka kamu ikuti
golongan yang terbanyak.”
“Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara
kamu setelah wafatku maka ia akan melihat perselisihan-perselisihan yang
banyak, maka hendaknya kamu berpegangan dengan sunnahku dan sunnah
Khufaur-rasyidin yang mendapat hidayat, peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur-rasyidin
dengan kuat dan gigitlah dengan geraham.”
“Sesungguhnya Bani Israil pecah menjadi 72
golongan dan ummatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka,
kecuali satu golongan, mereka bertanya: siapakah yang satu golongan itu ya
Rasulullah? Rasulullah menjawab; mereka itu yang bersama aku dan
sahabat-sahabatku.”
“Dari Shahabat Auf r.a. berkata;
Rasulullah bersabda; Demi yang jiwa saya ditangan-Nya, benar-benar akan pecah
ummatku menjadi 73 golongan, satu masuk surga dan 72 golongan masuk neraka,
ditanya siapa yang di surga Rasulullah? Beliau menjawab; golongan mayoritas
(jama’ah). Dan yang dimaksud dengan golongan mayoritas mereka yang sesuai
dengan sunnah para shahabat.”
Rasulullah Saw
berkata : “Yang selamat satu golongan, dan sisanya
akan hancur, ditanya siapakah yang selamat Rasulullah? Beliau menjawab
Ahlussunnah wal Jama’ah, beliau ditanya lagi apa maksud dari Ahlussunnah wal
Jama’ah? Beliau menjawab; golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah
shahabatku.”
Siapa saja yang termasuk Ahlu Sunnah wal Jama’ah ?
Karena Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah satu-satunya firqah (golongan) yang
selamat dari sekian banyak firqah sesat, maka setiap kaum muslimin mendaku dan
mengklaim bahwa diri mereka sebagai Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Dan klaim seperti ini sebenarnya
tidak menimbulkan masalah. Yang menjadi masalah adalah, ketika sebagian kaum
muslimin menganggap dirinya dan golongannya sebagai Ahlu Sunnah wal Jama’ah (sring disingkat Sunni) sedangkan
orang yang diluar golongannya sebagai yang bukan Sunni. Inilah yang pernah
terjadi, Dulu orang-orang NU, misalnya, mengklaim
dirinyalah Ahlus Sunnah, karena mereka menggariskan akidahnya mengikuti Asy’ari
dan Maturidi. Mereka menganggap Muhammadiyah bukan Ahlus Sunnah karena tidak
mengikuti kedua mazhab tersebut. Sebaliknya, Muhammadiyah pernah menganggap
orang-orang NU sebagai ahl al-bid‘ah, dan karenanya tidak layak disebut Ahlus
Sunnah; yang layak disebut Ahlus Sunnah hanya orang-orang Muhammadiyah. Klaim
seperti ini bisa terjadi, karena masing-masing membangun klaim dengan pijakan
dan paradigma yang berbeda. Dan akhir-akhir ini, gejala ini mulai menjangkit kembali
dikalangan kaum muslimin, dan tentu prilaku seperti ini adalah sangat tercela. Mengapa
? karena dengan mengatakan saudara kita yang berbeda pendapats ebagai yang
bukan Ahlussunnah wal Jama’ah, kita sama dengan menganggap sesat mereka, mengkafirkan
mereka dan menganggap mereka sebagai ahli neraka. Padahal Rasulullah SAW telah
mengingatkan : “Apabila seseorang berkata
kepada saudaranya : ‘ya kafir’, maka perkataan itu akan kembali kepada salah
satu diantara keduanya.” (HR. Muslim)
Karena itu, perlu kita camkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal ketika mensifati kaum Muslimin yang beri’tiqad dan
bermazhab ahlu Sunnah wal Jama’ah agar
kita tidak mudah mengeluarkan seseorang dari Jama’ah ini. Beliau –rahimahullah-
berkata :
“Siapa saja yang bersaksi, bahwa tidak ada tuhan melainkan hanya
Allah Swt., tiada sekutu bagi-Nya, serta Muhammad saw. adalah hamba dan Rasul-Nya.
Dia juga mengakui semua yang dibawa oleh para nabi dan rasul, tidak ada
sedikitpun keraguan dalam keimanannya. Dia tidak mengkafirkan satu orang pun
yang masih bertauhid karena satu dosa. Dia mengharapkan semua perkara yang
hilang darinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan menyerahkan urusannya hanya
kepada-Nya. Dia meyakini bahwa apa saja berjalan menurut qadha’ dan qadar
Allah, semuanya, baik dan buruknya. Dia juga mengharapkan kebaikan untuk umat
Muhammad dan mengkhawatirkan keburukan menimpa mereka. Tak seorang pun umat
Muhammad masuk surga dan neraka karena kebaikan yang dilakukannya, dan dosa
yang diperbuatnya, sampai Allah SWT-lah yang memasukan ciptaan-Nya sebagaimana
yang Dia kehendaki. Dia mengetahui hak orang salaf yang telah dipilih oleh Allah
untuk menyertai Nabi-Nya. Dia mendahulukan Abu Bakar, Umar dan Utsman serta
mengakui hak Ali bin Abi Thalib, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi
Waqqash, Said bin Zaid bin Amr bin Nufail atas para Sahabat yang lain.
Merekalah sembilan orang yang telah bersama-sama Nabi saw. berada di atas
Gunung Hira’. Dia menceritakan keutamaan mereka dan menahan diri terhadap apa
yang mereka perselisihkan di antara mereka. Dia shalat Idul Fitri dan Adha,
Khauf, shalat berjamaah dan Jumat bersama semua pemimpin, baik yang taat maupun
zalim. Dia mengusap dua sepatu ketika bepergian dan ketika tidak, meng-qashar
shalat ketika bepergian. Dia meyakini al-Quran kalam Allah, dan diturunkan,
bukan makhluk. Dia meyakini bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, bisa bertambah
dan berkurang. Dia meyakini bahwa jihad tetap berlanjut sejak Allah mengutus
Muhammad saw. hingga sisa generasi terakhir yang memerangi Dajjal, saat tak
akan ada yang bisa mencelakakan mereka kezaliman orang yang zalim. Dia
menyatakan, bahwa jual-beli halal hingga Hari Kiamat sesuai dengan hukum Kitab
dan Sunnah. Dia shalat jenazah dengan empat takbir dan mengurus umat Islam
dengan baik. Dia tidak melakukan perlawanan terhadap mereka dengan pedang Anda.
Jangan berperang karena fitnah. Diamlah di rumah Allah. Dia mempercayai azab
kubur; mengimani Malaikat Munkar-Nakir; meyakini adanya telaga, syafaat;
meyakini bahwa orang-orang yang mempunyai tauhid akan keluar dari neraka
setelah mereka diuji, sebagaimana sejumlah hadis telah menyatakan hal ini dari
Nabi saw. Kita mengimaninya, dan tidak perlu banyak contoh untuk semuanya tadi.
Inilah yang disepakati oleh para ulama dari berbagai penjuru dunia.” (Burhanuddin Ibrahim bin
Muhammad, al-Maqshad al-Arsyad fi Dzikr Ashhab al-Imam Ahmad, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, cet. I, 1990,
II/336-339.)
Dengan demikian, Ahlus
Sunnah wal Jamaah itu tidak identik dengan mazhab atau golonagn tertentu, tetapi
siapa saja yang memenuhi kualifikasi di atas. Dan imam An-Nawawi juga menyatakan,
bahwa boleh jadi Ahlus Sunnah wal Jamaah berserakan di antara berbagai ragam
kaum muslimin,
mereka yang sebagai mujahid atau pasukan perang, ada yang
ahli fikih, hadist, ahli zuhud, dan orang-orang yang memerintahkan kemakrufan serta
mencegah kemunkaran, dan ada
juga ahli kebaikan yang lain. Mereka ini tidak
mesti, mereka terkumpul di satu tempat. Sebaliknya, boleh jadi mereka
berserakan di berbagai belahan bumi. Wallahu’alam.
“Katakanlah:
Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu
lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya." (QS.
al-Isra':
84)
Saudaraku, mengenai perbedaan
pendapat hukum menengadahkan tangan ketika berdoa, dapat kita bagi menjadi
pendapat, yaitu :
· Pendapat Pertama: Mengangkat Tangan Hukumnya Sunnah, ini adalah jumhur
pendapat ulama salaf dan khalaf
· Pendapat Kedua: Mengangkat Tangan hukumnya bid’ah kecuali Dalam Shalat
Istisqa', ini adalah sebagian pendapat ulama’
· Pendapat ketiga : mengatakan bahwa berdoa adalah perbuatan
bid’ah ketika berdoa.
MASING-MASING
PENDAPAT DAN DALILNYA
Pendapat
yang mensunnahkan mengangkat tangan ketika berdoa
Menurut golongan yang memegang pendapat ini, mengangkat dan menengadahkan
tangan dalam berdoa merupakan etika yang baik dan memiliki keutamaan yang mulia
serta menjadi salah satu penyebab terkabulnya doa. Adapun pendapat ini didukung
oleh dalil-dalil yang sangat banyak diantaranya :
1. Dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi SAW bersabda :
"Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu dari
hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta-Nya) dikembalikan dalam
keadaan kosong tidak mendapat apa-apa". [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab
Doa 2/78 No.1488, Sunan At-Tirmidzi, bab Doa 13/68. Musnad Ahmad 5/438].
2. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ra, melempar jumrah yang dekat
(pertama) dengan tujuh kerikil sambil bertakbir pada akhir setiap lemparan
kerikil, lalu maju di tempat yang datar dan berdiri lama dengan menghadap ke
qiblat, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya,lalu melempar
jamrah wustha (tengah) sebagaimana (melempar jamrah pertama), lalu mengambil
arah kiri di tempat
yang datar dan berdiri lama dengan menghadap qiblat, lalu berdoa dengan
mengangkat kedua tangannya, lalu melempar jumrah aqabah (yang terakhir) dari
arah lembah dan tidak berhenti, dan berkatalah AbdullahIbnu Umar : Demikianlah
saya melihat Rasulullah mengerjakannya (HR. Bukhari, Kitab al-Hajj, bab mengangkat
kedua tangan,juz I:198)
3. Dari Abi Musa Al-Asy'ari ra berkata, "Nabi SAW berdoa kemudian
mengangkat kedua tangannya, hingga aku melihat putih kedua ketiaknya." (HR
Bukhari)
4. Imam Al-Qasim bin Muhammad berkata bahwa saya melihat Ibnu Umar berdoa
di Al-Qashi dengan mengangkat tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya
dan kedua telapak tangannya dihadapkan ke arah wajahnya. [Dishahihkan oleh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari 11/147. Dinisbatkan kepada AL-Bukhari dalam kitab
Adabul Mufrad tetapi tidak ada].
Pendapat Kedua: Mengangkat Tangan hukumnya bid’ah kecuali Dalam Shalat Istisqa'
Golongan yang memegang pendapat ini hanya menganggap kesunahan berdoa hanya
pada waktu shalat istisqa’. Berikut dalil yang digunakan :
Dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam
doanya, kecuali dalam shalat istisqa''. Sesungguhnya beliau mengangkat kedua
tanggannya hingga terlihat putih ketiaknya."(HR Bukhari dan Muslim)
Atas dasar hadits inilah kemudian sebagian ulama mengatakan bahwa berdoa dengan
mengangkat kedua tangan hukumnya terlarang atau bid''ah. Sebab Anas bin Malik
mengatakan bahwa mengangkat kedua tangan itu hanya dilakukan pada shalat
istisqa'' saja. Sehingga kalau dilakukan di luar itu, hukumnya tidak boleh.
Pendapat ketiga : mengatakan bahwa berdoa adalah perbuatan bid’ah ketika
berdoa.
Pendapat ketiga ini lebih ekstrim lagi, mereka menganggap bahwa berdoa dengan
mengangkat tangan adalah perbuatan bid’ah. Dalil yang mereka gunakan adalah :
Dari Ammarah bin Ruwaibah melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar mengangkat
kedua tangannya. Maka beliau berkata, "Semoga Allah memburukkan kedua
tangan itu. Sebab aku melihat Rasulullah SAW tidak menambahkan kecuali berdoa
dengan jari ini." Beliau menujukkan jari untuk bertasbih.” (tafsir
Al-Qurtubi jilid 7 halaman 255)
TARJIH
PENDAPAT
Pendapat pertama adalah pendapat
terkuat diantara sekian pendapat yang telah disebutkan, inilah inilah yang
telah menjadi pendapat jumhur ulama dan kaum muslimin. Karena didukung oleh
dalil-dalil yang banyak dan setiap dalilnya memiliki dalalah (maksud) yang
jelas. Sedangkan pendapat kedua dan ketiga hadits yang mereka gunakan memiliki
dalalah yang bercabang dan kurang tegas. Dan lagi pula, ulama telah banyak
mengkritisi penjelasan kedua pendapat tersebut. Mari kita simak
penjelasan berikut ini :
1. Al Imam Shan’niy menjelaskan dalam kitabnya Subulus-Salam,
beliau mengatakan :
“Hadits-hadits tentang mengangkat tangan, menunjukkan bahwa mengangkat kedua
tangan ketika berdoa adalah mustahabb, dan hadits-hadits yang memerintahkan
agar mengangkat kedua tangan ketika berdoa jumlahnya cukup banyak. Adapun
hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah
mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali hanya ketika dalam istisqa’,
Maksudnya ialah al-mubalaghah fi’araf (melebihkan dalam mengangkat kedua
tangan), yaitu mengangkat
kedua tangannya dengan amat tinggi, dan yang demikian itu tidaklah terjadi
kecuali ketika berdoa dalam kondisi shalat istisqa’.
2. Al-Qasthalaniy ketika ketika mensyarah hadits al-Bukhari
tentang mengangkat kedua tangan ketika berdoa, mengatakan bahwa mengangkat
kedua tangan adalah sunnah, berdasarkan hadits-hadits tersebut. Adapun hadits
yang diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah
mengangkat kedua tangannya sedikit pun ketika berdoa, kecuali pada waktu
Istisqa’ (mohon hujan), dia menjelaskan bahwa yang ditiadakan ialah sifat
khusus, yaitu al-mubalaghah fi arraf’i (melebihkan dalam mengangkat kedua
tangan), bukan mengangkat tangan pada umumnya. Artinya, bahwa Nabi saw ketika
berdoa juga mengangkat tangan, tetapi tidak setinggi ketika berdoa dalam
istisqa’ (al- Qasthalaniy, Syarh al-Bukhari, IV:68).
Ustadz ahmad Sarwat juga membuat penjelasan yang cukup bagus dalam masalah ini.
Berikut cuplikan penjelasan beliau : Kelemahan istimbath (pendapat kedua)
adalah bahwa larangan itu semata-mata berdasarkan penilaian Anas bin Malik ra
seorang, bahwa nabi SAW tidak mengangkat tangannya saat berdoa kecuali saat
istisqa'. Penilaian ini kurang bisa dijadikan argumentasi, lantaran hanya klaim
seseorang. Apakah Anas bin Malik telah bertanya langsung kepada nabi SAW bahwa
diri beliau tidak pernah mengangkat tangan saat berdoa di luar istisqa'? Apakah
Anas ra selalu mendampingi Rasulullah SAW sepanjang hidupnya?
Yang bisa diterima adalah pernyataan yang bersifat istbat atau penetapan, bukan
yang bersifat nafyi atau peniadaan.
Sebagai ilustrasi, misalnya seorang anak berkata tentang ayahnya, "Saya
pernah melihat ayah minum dengan tangan kiri." Kemungkinan besar
pernyataan itu benar. Tetapi kalau anak itu berkata, "Saya belum pernah
melihat ayah minum dengan tangan kanan", kemungkinan besar pernyataan itu
salah. Karena ayahnya hidup lebih dahulu dari anak itu. Lagi pula, tidak
selamanya si anak selalu mendampingi ayahnya ke mana pun dan di mana pun.
Sangat boleh jadi di luar sepengetahuan si ana, si ayah pernah minum dengan
tangan kanan.
Demikian juga pernyataan Anas bin Malik, kalau beliau berkata pernah melihat
Nabi berdoa dengan mengangkat tangan, kemungkinan besar pernyataan itu benar.
Tapi kalau beliau mengatakan belum pernah melihat nabi SAW berdoa dengan
mengangkat tangan, pernyataan itu benar untuk ukuran seorang Anas, tetapi tidak
bisa diartikan bahwa memang Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya di dalam
hidupnya.
Sedangkan penjelasan untuk hadits yang digunakan oleh golongan pendapat ketiga,
adalah bahwa kalau toh hadits mauquf tersebut dimaknai larangan berdoa dengan
menengadahkan tangan, itu hanya berlaku untuk khatib yang berkhutbah. Dan
memang sebagian ulama’ memakruhkan menengadahkan tangan ketika berdoa dalam
khutbah.
Dari pembahasan diatas, dapatlah disimpulkan, bahwa pendapat pertama yang
mensunnahkan berdoa dengan menegadahkan tangan adalah lebih rajih dari dua
pendapat lainnya.
Berikut ini beberapa ulama’ yang menyebutkan tentang
sunnahnya menengadahkan tangan ketika berdoa
1. Syaikhul islam Izz bin Abdussalam sebagaimana yang dikutip
oleh Ibnu Hjar dalam fathul bari.
2. Al-Hafidz Ibnu Hajar, dalam kitab Fathul Bari, sebuah
kitab yang menjadi syarah (penjelasan) atas kitab Shahih Bukhari. Bahkan beliau
juga mengutip tentang begitu banyak pendapat para ulama tentang
kesunnahan mengangkat tangan saat berdoa.
3. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah. Beliau di dalam kitab
al-Majmu' Syarah al-Muhazzab menyebutkan bahwa mengangkat kedua tangan saat
berdoa (di luar istisqa') hukumnya sunnah.
4. Hujjatul Islam al Imam Ghozali dalam Al Adzkar wa
da’awaat.
5. Al-Imam Al-Qurthubi, ulama besar asal Cordova yang menulis
kitab tafsir legendaris, al-Jami' li ahkamil Quran. Beliau sebenarnya tidak
mengharuskan mengangkat tangan, namun beliau membolehkannya.
6. Ashan’ani dalam Bulughul Maram No. 1356.
7. Dikatakan bahwa Imam At-Thabari meriwayatkan dari sebagian
salaf bahwa disunnahkan berdoa dengan mengisyaratkan jari telunjuk. Akan tetapi
hadits di atas terjadi pada saat khutbah Jum'at dan bukan berarti hadits
tersebut menafikan hadits-hadits yang menganjurkan mengangkat tangan dalam
berdoa. (Fathul Bari 11/146-147).
8. Syaikh Al-Mubarak Furi dalam kitab Mur'atul Mafatih 7/363.
9. Ibnu Qudamah Tauzii’ul ‘Ibadaat ‘alaa Maqooridil Auqoot .
Dan masih banyak para ulama’ lainnya yang menguatkan pendapat sunnahnya
mengangkat tangan ketika berdoa, tetapi yang sudah kami sebutkan kiranya sudah
mencukupi. Wallahu’alam.
Bapak
pengasuh yang dirahmati Allah, saya ingin menanyakan tentang hukum memakai
kopiah dalam shalat, bagaimanakah hukumnya? Karena ada sebagian orang yang
setiap shalat kayaknya enggan pakai kopiah, ketika saya tanya, dia mengatakan
hal tersebut tidak ada tuntunannya. Mohon jawaban dan penjelasan dari pengasuh.
Jawaban :
Tidak
bisa dipungkiri, memakai kopiah ketika shalat adalah kebiasaan yang telah umum
dikalangan muslimin disemua penjuru. Bahkan, seseorang bisa merasa ada yang
kurang bila dia shalat sedangkan kepalanya dalam kondisi terbuka. Maka tak
heran bila kemudian sebagian kalangan menmpertanyakan tentang status hukumnya,
sunahkah atau hanya semacam budaya saja? Mari kita simak penjelasannya.
Kopiah
atau juga yang disebut songkok/peci adalah salah satu jenis pakaian yang
dikenakan di kepala. Jadi, peci masuk kepembahasan hukum berpakaian, sedangkan
secara umum berpakaian itu dihukumi:
·Wajib, yaitu pakaian yang
digunakan untuk menutupi aurat. Yaitu dari pusat hingga lutut bagi kaum
laki-laki, seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan bagi kaum wanita.
·Sunnah, yaitu berpakaian dengan
model pakaian Rasulullah Saw dan yang dicintai olehnya, diantaranya adalah
gamis. Dan masuk kedalam kesunnahan juga adalah berpakaian lengkap (bukan hanya
memakai sarung atau celana yang menutup pusat dan mata kaki), mengenakan
pakaian bersih dan rapi, berhias dll.
·Mubah, yakni pakaian yang
umumnya dikenakan mengikuti sesuai peradaban dan kedayaan manusia.
·Haram, yakni pakaian yang
menyerupai pakaian orang-orang kafir dan menjadi simbol agama mereka, semisal
pakaian biksu atau para pastor.
Yang
jelas, kopiah tidaklah wajib, karena kepala yang ditutupi oleh kopiah bukanlah
aurat bagi laki-laki, dan kita sama ma’fum, dalam shalat, yang wajib ditutupi
hanya aurat. Sebaliknya, kopiah juga tidak mungkin dihukumi haram untuk dipakai,
karena ia bukanlah pakaian yang menjadi ciri khas atau identitas orang-orang
kafir. Terkecuali, model peci yang lazim dikenakan para pastor dan
pendeta yahudi, maka ini haram, karena ada larangan tasyabbuh
(menyerupai) orang kafir yang ditegaskan dalam hadit Nabawi :
“Barangsiapa
meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR Abu Dawud)
Berarti yang tersisa
kemungkinan hukum kopiah adalah antara sunnah dan mubah. Nah, ini lah area yang
sering diperdebatkan sebagian kalangan dalam memandang hukum memakai kopiah.
Antara yang berpendapat bahwa kopiah ada kesunnahnnya, dengan yang hanya
menghukumi mubah saja.
Pendapat
yang menghukumi mubah
Menurut
kelompok ini, Menutup kepala ketika shalat, tidak ada hadits shahih yang
menunjukkan kesunnahannya. Sehingga mereka menghukumi semua hadits-hadits yang
berbicara tentang hukum kopiah adalah dha’if.
Bahkan
ada sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu ‘Asakir yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pernah
membuka penutup
kepalanya
(seperti surban) dan menjadikannya sebagai sutrah (pembatas) di hadapannya, dan
beliau shalat sehingga tidak ada seorang pun yang lewat di depannya.
Syaikh
Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah berkata: “Tidak memakai kopiah
ketika shalat hanyalah meninggalkan kebiasaan saja. Jika
telah dikenal secara baik bahwa menutup kepala merupakan adab secara umum, maka
hal itu dianjurkan untuk dipakai dalam shalat sebagai konsekuensi
hukum Al ‘Urf (tradisi) terhadap apa-apa yang tidak memiliki
dalil syara’. Jika tradisinya tidak seperti itu, maka tidak mengapa membuka
kepala. “apa-apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah itu
juga baik.” (Fatawa Al Azhar, 9/107)
Pendapat
ini pada umumnya diikuti oleh kalangan Hanafiyah. Sayyid Sabiq mengatakan
dalam Fiqhus Sunnahnya : “Tak ada dalil tentang keutamaan menutup kepala ketika
shalat.” (Fiqhus Sunnah, 1/128)
Pendapat
yang menghukumi sunnah
Disebutkan
dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah Saw selalu memakai kopiah putih. Hadits
ini diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Umar, dan Imam Suyuthi dalam Jami’us
Shagir hal 21 mengatakan hadits ini “hasan”.
Hasan
al Bisri mengatakan : "Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada
surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya".
(HR. Al-Bukhari) Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata, "Aku lihat pada
Ali bin Al-Husain ada sebuah songkok putih buatan Mesir". [HR. Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushonnaf (24855)
Pendapat
ini adalah yang dipegang oleh jumhur mazhab syafi’iyah dan mazhab-mazhab yang
lain. Bahkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 22/5
dinyatakan : “Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ahli fiqih tentang
kesunahan menutup kepala ketika shalat bagi laki-laki baik dengan surban atau
yang semakna dengan itu karena begitulah shalatnya Nabi Shallallahu “Alaihi
wa Sallam.
Sedangkan
Imam Ibnu Taimiyah berkata: Ada pun membuka kepala adalah makruh,
apalagi melakukannya ketika ibadah, hal tersebut adalah munkar dan tidak boleh
beribadah seperti itu.” (Fatawa Al Kubra, 1/6)
Kesimpulan
Ulama
telah berbeda pendapat tentang hukum memakai penutup kepala (kopiah) dalam
shalat. Antara yang mensunnahkan dengan yang menganggapnya hanya sebagai
perkara mubah. Namun meskipun demikian, mereka sama sepakat, bila memakai
kopiah telah menjadi adat kebiasaan disuatu masyarakat (‘urf) maka makruh
meninggalkannya.
Dalam pandangan jumhur ulama, dan yang
kami ikuti – wallahua’lam- pendapat yang kuat adalah yang menghukumi
kesunnahannya dan makruhnya (dibenci) meninggalkan dari memakai
penutup kepala ketika shalat terlebih saat shalat berjama’ah. Hal ini
berdasarkan pada dalil-dalil berkut ini:
1. Banyak
sekali hadits-hadits Nabawi, atsar (*kisah) Sahabat, dan riwayat tabi’in,
tabi’ut tabi’in, yang menyebutkan bahwa menutup kepala, baik dengan sorban atau
kopiah adalah kebiasaan berpakaian Nabi Saw dan juga kebiasaan salafunas
shalih. Meskipun Sayid Sabiq mengatakan, ““Tak ada dalil tentang keutamaan
menutup kepala ketika shalat.” Tetapi, memakai kopiah adalah termasuk
sunnah Mustamirrah atau sunnah al-zawaid (mengikuti kebiasaan
sehari hari nabi sebagai manusia) dan tidak bisa dipungkiri, itupun sunnah
namanya.
2. Tidak
ada perbedaan pendapat ulama tentang ketentuan: ‘apabila hal tersebut adalah
kebiasaan suatu masyarakat, maka makruh meninggalkannya.’
Sedangkan kita ketahui bersama, bahwa memakai penutup kepala (kopiah) adalah
kebiasaan generasi salafunas shalih, dan juga adalah adat kebiasaan kaum
muslimin hampir diseluruh negeri dan wilayah-wilayah lain ketika shalat.
Minimal orang yang mengenakan kopiah adalah orang yang ingin bertasyabuh
(meniru) gaya generasi salaf dan juga meniru kebiasaan kaum muslimin pada
umumnya. Sedangkan Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa meniru-niru suatu
kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR Abu Dawud)
3.
Berhias ketika akan melaksanakan shalat adalah perintah Allah Swt, sebagaimana
firmannya, “Wahai ANak-anak Adam pakailah perhiasan kalian ketika memasuki
setiap masjid.” Dalam Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al
‘Ilmiyah wal Ifta’ dikatakan : “Kepala bukanlah aurat, baik saat shalat
atau di luar shalat, sama saja baik dengan penutup atau tidak. Tetapi
menutupnya dengan apa yang semestinya yang telah menjadi
kebiasaan dan tidak
bertentangan syara’, itu merupakan kategori pembahasan perhiasan. Maka,
memperbagusnya dalam shalat merupakan pengamalan dari perintah Allah. Bagi imam
hal ini lebih ditekankan lagi. (Fatawa Islamiyah,Kitabus Shalah,
1/615)
Hendaknya setiap
muslim yang akan shalat untuk berhias, mengenakan pakaian yang indah dan
terhormat, karena itu adalah perintah dari Allah ta’ala.
Dan kita, khususnya
yang ada di Indonesia, telah mengetahui dengan pasti bahwa penutup kepala
adalah perhiasan yang lazim ada bagi orang yang akan shalat. Hendaknya dia
tidak meninggalkannya, apalagi bila dia adalah seorang imam atau akan mengimami
shalat. Tentu akan membuat risih jama’ah dan dapat mengganggu kekhusu’an.
Apalagi bila
meninggalkan memakai kopiah dilandasi keinginan ‘suka tampil beda’, ini
bukanlah prilaku terpuji di dalam islam. Lebih celaka lagi bila karena motivasi
merasa paling paham sunnah
sehingga
menganggap kopiah sebagai perbuatan bid’ah.
Dirirwayatkan
perkataan dari Hasan al Bisri : Semua yang menyebabkan seseorang yang
berpakaian menjadi bahan pembicaraan banyak orang, maka hukumnya makruh”.
(Talbis Iblis : 237).