Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Bapak
pengasuh yang dirahmati Allah, saya ingin menanyakan tentang hukum memakai
kopiah dalam shalat, bagaimanakah hukumnya? Karena ada sebagian orang yang
setiap shalat kayaknya enggan pakai kopiah, ketika saya tanya, dia mengatakan
hal tersebut tidak ada tuntunannya. Mohon jawaban dan penjelasan dari pengasuh.
Jawaban :
Tidak
bisa dipungkiri, memakai kopiah ketika shalat adalah kebiasaan yang telah umum
dikalangan muslimin disemua penjuru. Bahkan, seseorang bisa merasa ada yang
kurang bila dia shalat sedangkan kepalanya dalam kondisi terbuka. Maka tak
heran bila kemudian sebagian kalangan menmpertanyakan tentang status hukumnya,
sunahkah atau hanya semacam budaya saja? Mari kita simak penjelasannya.
Kopiah
atau juga yang disebut songkok/peci adalah salah satu jenis pakaian yang
dikenakan di kepala. Jadi, peci masuk kepembahasan hukum berpakaian, sedangkan
secara umum berpakaian itu dihukumi:
· Wajib, yaitu pakaian yang
digunakan untuk menutupi aurat. Yaitu dari pusat hingga lutut bagi kaum
laki-laki, seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan bagi kaum wanita.
· Sunnah, yaitu berpakaian dengan
model pakaian Rasulullah Saw dan yang dicintai olehnya, diantaranya adalah
gamis. Dan masuk kedalam kesunnahan juga adalah berpakaian lengkap (bukan hanya
memakai sarung atau celana yang menutup pusat dan mata kaki), mengenakan
pakaian bersih dan rapi, berhias dll.
· Mubah, yakni pakaian yang
umumnya dikenakan mengikuti sesuai peradaban dan kedayaan manusia.
· Haram, yakni pakaian yang
menyerupai pakaian orang-orang kafir dan menjadi simbol agama mereka, semisal
pakaian biksu atau para pastor.
Yang
jelas, kopiah tidaklah wajib, karena kepala yang ditutupi oleh kopiah bukanlah
aurat bagi laki-laki, dan kita sama ma’fum, dalam shalat, yang wajib ditutupi
hanya aurat. Sebaliknya, kopiah juga tidak mungkin dihukumi haram untuk dipakai,
karena ia bukanlah pakaian yang menjadi ciri khas atau identitas orang-orang
kafir. Terkecuali, model peci yang lazim dikenakan para pastor dan
pendeta yahudi, maka ini haram, karena ada larangan tasyabbuh
(menyerupai) orang kafir yang ditegaskan dalam hadit Nabawi :
“Barangsiapa
meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR Abu Dawud)
Berarti yang tersisa
kemungkinan hukum kopiah adalah antara sunnah dan mubah. Nah, ini lah area yang
sering diperdebatkan sebagian kalangan dalam memandang hukum memakai kopiah.
Antara yang berpendapat bahwa kopiah ada kesunnahnnya, dengan yang hanya
menghukumi mubah saja.
Pendapat
yang menghukumi mubah
Menurut
kelompok ini, Menutup kepala ketika shalat, tidak ada hadits shahih yang
menunjukkan kesunnahannya. Sehingga mereka menghukumi semua hadits-hadits yang
berbicara tentang hukum kopiah adalah dha’if.
Bahkan
ada sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu ‘Asakir yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pernah
membuka penutup
kepalanya
(seperti surban) dan menjadikannya sebagai sutrah (pembatas) di hadapannya, dan
beliau shalat sehingga tidak ada seorang pun yang lewat di depannya.
Syaikh
Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah berkata: “Tidak memakai kopiah
ketika shalat hanyalah meninggalkan kebiasaan saja. Jika
telah dikenal secara baik bahwa menutup kepala merupakan adab secara umum, maka
hal itu dianjurkan untuk dipakai dalam shalat sebagai konsekuensi
hukum Al ‘Urf (tradisi) terhadap apa-apa yang tidak memiliki
dalil syara’. Jika tradisinya tidak seperti itu, maka tidak mengapa membuka
kepala. “apa-apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah itu
juga baik.” (Fatawa Al Azhar, 9/107)
Pendapat
ini pada umumnya diikuti oleh kalangan Hanafiyah. Sayyid Sabiq mengatakan
dalam Fiqhus Sunnahnya : “Tak ada dalil tentang keutamaan menutup kepala ketika
shalat.” (Fiqhus Sunnah, 1/128)
Pendapat
yang menghukumi sunnah
Disebutkan
dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah Saw selalu memakai kopiah putih. Hadits
ini diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Umar, dan Imam Suyuthi dalam Jami’us
Shagir hal 21 mengatakan hadits ini “hasan”.
Hasan
al Bisri mengatakan : "Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada
surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya".
(HR. Al-Bukhari) Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata, "Aku lihat pada
Ali bin Al-Husain ada sebuah songkok putih buatan Mesir". [HR. Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushonnaf (24855)
Pendapat
ini adalah yang dipegang oleh jumhur mazhab syafi’iyah dan mazhab-mazhab yang
lain. Bahkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 22/5
dinyatakan : “Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ahli fiqih tentang
kesunahan menutup kepala ketika shalat bagi laki-laki baik dengan surban atau
yang semakna dengan itu karena begitulah shalatnya Nabi Shallallahu “Alaihi
wa Sallam.
Sedangkan
Imam Ibnu Taimiyah berkata: Ada pun membuka kepala adalah makruh,
apalagi melakukannya ketika ibadah, hal tersebut adalah munkar dan tidak boleh
beribadah seperti itu.” (Fatawa Al Kubra, 1/6)
Kesimpulan
Ulama
telah berbeda pendapat tentang hukum memakai penutup kepala (kopiah) dalam
shalat. Antara yang mensunnahkan dengan yang menganggapnya hanya sebagai
perkara mubah. Namun meskipun demikian, mereka sama sepakat, bila memakai
kopiah telah menjadi adat kebiasaan disuatu masyarakat (‘urf) maka makruh
meninggalkannya.
Dalam pandangan jumhur ulama, dan yang
kami ikuti – wallahua’lam- pendapat yang kuat adalah yang menghukumi
kesunnahannya dan makruhnya (dibenci) meninggalkan dari memakai
penutup kepala ketika shalat terlebih saat shalat berjama’ah. Hal ini
berdasarkan pada dalil-dalil berkut ini:
1. Banyak
sekali hadits-hadits Nabawi, atsar (*kisah) Sahabat, dan riwayat tabi’in,
tabi’ut tabi’in, yang menyebutkan bahwa menutup kepala, baik dengan sorban atau
kopiah adalah kebiasaan berpakaian Nabi Saw dan juga kebiasaan salafunas
shalih. Meskipun Sayid Sabiq mengatakan, ““Tak ada dalil tentang keutamaan
menutup kepala ketika shalat.” Tetapi, memakai kopiah adalah termasuk
sunnah Mustamirrah atau sunnah al-zawaid (mengikuti kebiasaan
sehari hari nabi sebagai manusia) dan tidak bisa dipungkiri, itupun sunnah
namanya.
2. Tidak
ada perbedaan pendapat ulama tentang ketentuan: ‘apabila hal tersebut adalah
kebiasaan suatu masyarakat, maka makruh meninggalkannya.’
Sedangkan kita ketahui bersama, bahwa memakai penutup kepala (kopiah) adalah
kebiasaan generasi salafunas shalih, dan juga adalah adat kebiasaan kaum
muslimin hampir diseluruh negeri dan wilayah-wilayah lain ketika shalat.
Minimal orang yang mengenakan kopiah adalah orang yang ingin bertasyabuh
(meniru) gaya generasi salaf dan juga meniru kebiasaan kaum muslimin pada
umumnya. Sedangkan Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa meniru-niru suatu
kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR Abu Dawud)
3.
Berhias ketika akan melaksanakan shalat adalah perintah Allah Swt, sebagaimana
firmannya, “Wahai ANak-anak Adam pakailah perhiasan kalian ketika memasuki
setiap masjid.” Dalam Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al
‘Ilmiyah wal Ifta’ dikatakan : “Kepala bukanlah aurat, baik saat shalat
atau di luar shalat, sama saja baik dengan penutup atau tidak. Tetapi
menutupnya dengan apa yang semestinya yang telah menjadi
kebiasaan dan tidak
bertentangan syara’, itu merupakan kategori pembahasan perhiasan. Maka,
memperbagusnya dalam shalat merupakan pengamalan dari perintah Allah. Bagi imam
hal ini lebih ditekankan lagi. (Fatawa Islamiyah, Kitabus Shalah,
1/615)
Hendaknya setiap
muslim yang akan shalat untuk berhias, mengenakan pakaian yang indah dan
terhormat, karena itu adalah perintah dari Allah ta’ala.
Dan kita, khususnya
yang ada di Indonesia, telah mengetahui dengan pasti bahwa penutup kepala
adalah perhiasan yang lazim ada bagi orang yang akan shalat. Hendaknya dia
tidak meninggalkannya, apalagi bila dia adalah seorang imam atau akan mengimami
shalat. Tentu akan membuat risih jama’ah dan dapat mengganggu kekhusu’an.
Apalagi bila
meninggalkan memakai kopiah dilandasi keinginan ‘suka tampil beda’, ini
bukanlah prilaku terpuji di dalam islam. Lebih celaka lagi bila karena motivasi
merasa paling paham sunnah
sehingga
menganggap kopiah sebagai perbuatan bid’ah.
Dirirwayatkan
perkataan dari Hasan al Bisri : Semua yang menyebabkan seseorang yang
berpakaian menjadi bahan pembicaraan banyak orang, maka hukumnya makruh”.
(Talbis Iblis : 237).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar